Gambar By Google |
Rifertar-Yahya, seorang bapak di Sidoarjo tak ingin anak-anaknya membawa motor
untuk berangkat ke sekolah. Dibanding melanggar aturan dengan
membolehkan mereka mengendarai motor, Yahya membelikan sepeda untuk
putra putrinya.
"Tahun lalu ketika anak saya lulus SD, saya mengarahkan agar memilih SMP yang dekat dengan rumah, sehingga bisa pergi ke sekolah dengan naik sepeda. Pertimbangannya sederhana, dengan naik sepeda, saya tidak direpotkan dengan urusan antar jemput, yang berpotensi membelenggu waktu saya. Toh mereka belum boleh naik sepeda motor," kata Yahya dalam surat elektroniknya kepada redaksi@detik.com, Sabtu (14/9/2013).
Akhirnya kedua anak Yahya masuk SMPN 2 Sidoarjo yang jaraknya hanya 1,5 Km dari rumahnya. Yahya membelikan mereka sepeda baru. Sebelum hari masuk sekolah, Yahya mengajak kedua anaknya bersepeda menempuh jalur berangkat sekolah, dengan maksud agar keduanya tahu jalan.
"Pada suatu ketika, iseng-iseng saya diam-diam mengikuti mereka berangkat pagi hari, sekedar pengin tahu perjalanan ke sekolah. Terus terang kadang ada kekhawatiran juga, terutama pada anak saya yang perempuan, karena harus melewati Jalan Raya Jati dan Jalan Pahlawan yang kalau pagi hari padatnya minta ampun, bahkan cenderung macet," tuturnya.
Yahya sangat kaget dengan kepadatan jalan yang tak pernah dilihatnya. Sebab dia hanya pernah menyusuri jalan menuju sekolah anaknya itu di hari libur.
"Saya benar-benar merasa ngeri dengan kondisi jalan, saya bayangkan, apalagi anak saya yang masih SMP, terutama yang cewek. Terus terang saya jadi was was kalau anak saya berangkat sekolah naik sepeda," ujarnya.
Yahya jadi berpikir ulang. Dia mempertimbangkan untuk membelikan kedua anaknya sepeda motor.
"Imbauan berbagai pihak agar siswa tidak naik sepeda motor dan beralih naik sepeda atau angkot adalah imbauan yang baik. Namun tanpa ada perbaikan dan pengaturan di jalan, misalnya dengan adanya jalur khusus untuk sepeda maupun perbaikan transportasi massal/angkot menurut saya justru sangat berisiko bagi siswa," tutup Yahya.
"Tahun lalu ketika anak saya lulus SD, saya mengarahkan agar memilih SMP yang dekat dengan rumah, sehingga bisa pergi ke sekolah dengan naik sepeda. Pertimbangannya sederhana, dengan naik sepeda, saya tidak direpotkan dengan urusan antar jemput, yang berpotensi membelenggu waktu saya. Toh mereka belum boleh naik sepeda motor," kata Yahya dalam surat elektroniknya kepada redaksi@detik.com, Sabtu (14/9/2013).
Akhirnya kedua anak Yahya masuk SMPN 2 Sidoarjo yang jaraknya hanya 1,5 Km dari rumahnya. Yahya membelikan mereka sepeda baru. Sebelum hari masuk sekolah, Yahya mengajak kedua anaknya bersepeda menempuh jalur berangkat sekolah, dengan maksud agar keduanya tahu jalan.
"Pada suatu ketika, iseng-iseng saya diam-diam mengikuti mereka berangkat pagi hari, sekedar pengin tahu perjalanan ke sekolah. Terus terang kadang ada kekhawatiran juga, terutama pada anak saya yang perempuan, karena harus melewati Jalan Raya Jati dan Jalan Pahlawan yang kalau pagi hari padatnya minta ampun, bahkan cenderung macet," tuturnya.
Yahya sangat kaget dengan kepadatan jalan yang tak pernah dilihatnya. Sebab dia hanya pernah menyusuri jalan menuju sekolah anaknya itu di hari libur.
"Saya benar-benar merasa ngeri dengan kondisi jalan, saya bayangkan, apalagi anak saya yang masih SMP, terutama yang cewek. Terus terang saya jadi was was kalau anak saya berangkat sekolah naik sepeda," ujarnya.
Yahya jadi berpikir ulang. Dia mempertimbangkan untuk membelikan kedua anaknya sepeda motor.
"Imbauan berbagai pihak agar siswa tidak naik sepeda motor dan beralih naik sepeda atau angkot adalah imbauan yang baik. Namun tanpa ada perbaikan dan pengaturan di jalan, misalnya dengan adanya jalur khusus untuk sepeda maupun perbaikan transportasi massal/angkot menurut saya justru sangat berisiko bagi siswa," tutup Yahya.
No comments: