ads

Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Rifertar- RATUSAN kendaraan, Selasa, melaju untuk menjauhi bayang-bayang pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima yang lumpuh tetapi menebar bahaya. Mereka yang berada di dalam mobil dan truk-truk itu melarikan diri demi nyawanya. Mereka takut akan apa yang mungkin terjadi dan enggan percaya apapun yang pemerintah Jepang telah beritahukan kepada mereka.

"Kami tahu (pembangkit) itu sangat dekat, tetapi mereka (pemerintah) mengatakan kepada kami berkali-kali bahwa sudah aman, aman, aman," kata seorang pengungsi, Fumiko Watanabe yang berusia 70 tahun. "Orang-orang khawatir bahwa kami tidak diberi tahu betapa berbahayanya hal ini dan apa yang sebenarnya terjadi," katanya sebagaimana dikutip The Dailymail, Rabu.

Banyak warga yang ketakutan juga mulai meninggalkan Tokyo saat pembangkit listrik itu mulai menebar ancaman dengan mengirim awan debu radioaktif ke seluruh Jepang. Situs The Dailymail melaporkan, bahkan di kota Yamagata, sekitar 60 mil dari pembangkit, warga takut terkontaminasi. Saat asap mengepul dari fasilitas nuklir tersebut, seorang penjaga toko, Takeo Obata (56 tahun), mengatakan, "Ketika angin bertiup dari tenggara, Anda bisa mencium bau laut. Jadi, jika kami bisa mencium bau laut, tidakkah Anda berpikir kami bisa mencium udara beracun itu? Apa yang orang-orang (pemerintah) ini lakukan untuk kami?"

Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan, juga marah. Dia tidak segera diberitahu tentang ledakan terakhir yang terjadi Selasa kemarin di salah satu reaktor, dan dilaporkan bahwa ia telah menanyakan kepada operator pembangkit itu, Tokyo Electric, "Apa yang sedang terjadi?" Namun sebelum pukul 04.00 Rabu pagi ini, pemerintah Jepang mengatakan bahwa api yang mengamuk selama sekitar tujuh jam telah berhasil dikendalikan. Gempa susulan mengguncang lagi wilayah timur laut kemarin. Hal itu meningkatkan kekhawatiran bahwa kerusakan lebih lanjut akan terjadi pada dinding wadah dari empat reaktor di pembangkit tersebut.

"Saya tak percaya mereka sekarang. Tidak sama sekali. Kami bisa melihat kerusakan rumah-rumah kami, tetapi radiasi? Kami tidak tahu apa yang terjadi. Saya sangat takut," kata Obata.

Para pengungsi yang lain hanya memiliki satu tujuan, yaitu melarikan diri dari daerah sekitar pembangkit. "Saya tidak peduli dimana saya akan berakhir," kata salah satu pengendara saat ia bergabung dalam antrean panjang orang untuk mendapatkan bensin di jalan menuju Tokyo. "Saya hanya ingin pergi sejauh mungkin dari tempat ini sejauh yang saya bisa," tambahnya sebagaimana dilaporkan Dailymail.

Ketika warga diungsikan dari daerah sekitar pembangkit Fukushima, mereka diperiksa untuk mengetahui paparan radiasi dalam tubuhnya. Para ahli dalam jas pelindung berwarna putih dan kuning menggunakan tabung pengukur kadar radioaktif pada ribuan orang, termasuk bayi-bayi, yang melarikan diri dari rumah mereka menuju pusat-pusat kemah evakuasi.

Sejumlah orang menyatakan, mereka tidak percaya lagi pada apa yang pemerintah sampaikan kepada mereka. "Kami inginkan kebenaran," kata Yoshiaki Kawata, seorang petani 64 tahun yang tinggal di desa lereng bukit di Prefektur Yamagata.

Sementara itu, para petinggi Tokyo Electric bahu-membahu di ibukota dan berjuang untuk menjawab pertanyaan tentang tingkat penetrasi bahaya sebelum juru bicara pemerintah Yukio Edano mengakui bahwa level radioaktif berbahaya telah terlontar ke atmosfer. Meskipun pemerintah mengatakan, bahaya nyata terdapat dalam zona 19 mil dari pembangkit, pengumuman tentang radiasi menyebabkan kepanikan di antara warga dalam radius 100 mil. Hal ini diikuti dengan peringatan bahwa setiap orang dalam radius itu harus tinggal di dalam rumah. Begitu mereka keluar rumah, mereka diperintahkan untuk mandi dan membuang pakaiannya ketika kembali.

Perintah tersebut berarti sebanyak 140.000 orang terjebak dalam ruangan di dan sekitar Fukushima. Tetapi banyak orang bertanya berapa lama mereka harus tinggal di sana. "Saya meninggalkan orang tua saya," kata seorang pria yang melarikan diri dengan mobilnya bersama istrinya. "Mereka tidak mau meninggalkan rumah dan sekarang mereka tidak bisa pergi walaupun mereka mau. Pemerintah perlu memberitahu kami, berapa lama ini akan berlangsung."

"Pihak pemerintah mengatakan kepada warga untuk tidak menggunakan kendaraan mereka sendiri," kata Koji Watanabe, seorang sopir taksi berusia 60 tahun. Tetapi kendaraan militer memprioritaskan anak-anak, orang tua dan orang cacat. Dia bosan menunggu dan memutuskan untuk tinggal di dalam mobilnya. Dia dan istrinya, yang menderita kanker paru-paru, tidak memiliki cukup bahan bakar untuk bepergian jauh. Banyak SPBU tutup. Yang tetap buka pun dipadati antrean.

sumber :Kompas.com

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Post a Comment

Dunia Dalam Berita


Top