ads

Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Rifertar- SUARA musik gong dan kendang bertalu-talu. Kaki kaum wanita, pria, dan anak-anak dientakan di tanah mengikuti irama ”dolo-dolo”. Itulah inti pesta membaca tuber atau bagian tertentu usus ayam di Flores Timur. Tradisi ini untuk menentukan nasib orang yang menyerahkan kurban ayam.

Setiap kaum pria menyerahkan ayam jantan untuk melihat nasib pribadi dan keluarga sekaligus meminta perlindungan di masa depan. Kemeriahan pesta tahunan itu terungkap dalam ritual adat ”tuno manuk” yang secara harfiah berarti membakar ayam. Namun, tuno manuk memiliki makna jauh lebih dalam bagi setiap kaum pria di Desa Demondei dan Desa Mewet, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Ritual adat tahunan yang digelar, Kamis (25/7/2013) malam itu, melibatkan 287 kaum pria. Jumlah ini dipastikan dari 287 ayam yang disembelih di rumah adat Koker Bale oleh para tetua adat. Ketua adat bernama Philip Laga Doni dari suku Bubun.

Ada lima suku, yaitu Bubun, Narek, Lagadoni, Khaya, dan Ariana. Bubun dan Lagadoni memegang peranan sebagai penatua adat. Khaya, Narek, dan Ariana sebagai pelaksana dan penjaga keamanan. Sebelum ritual tuno manuk digelar, masing-masing suku melakukan ritual adat.

Masing-masing kaum pria menyerahkan satu ayam jantan untuk disembelih. Penyembelihan ayam ini simbol kekuatan, keberhasilan, perlindungan, dan kesehatan. Kaum perempuan tidak dilibatkan, tetapi menyediakan perlengkapan perjamuan.

Sebelum diantar ke Koker Bale, ayam terlebih dahulu didoakan oleh sang ayah atau kakak pria tertua. Setiap kaum pria yang hendak mengambil bagian dalam ritual adat itu menyampaikan niat sekaligus kesalahan yang pernah dibuat kepada sang ayah atau pria tertua untuk didoakan.

Penyembelihan ayam dilakukan ketua adat setelah pembacaan doa adat di Koker Bale. Doa itu berisikan syukur dan permohonan bagi orang yang menyerahkan ayam itu. Nama pria yang menyerahkan ayam disebutkan dalam doa adat itu agar mendapat perhatian khusus dari leluhur.

Darah ayam yang menetes pertama disiram di Nuba Nara, simbol kehadiran leluhur. Ayam kemudian diserahkan kepada anggota suku untuk diperiksa tuber atau jiwanya yang terlihat di sebuah tanduk kecil yang muncul di usus ayam. Jika tanduk tidak tampak, hal itu tanda bahaya bagi pria yang mempersembahkan ayam.

Pria itu harus mengganti ayam baru sambil mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada mereka yang disakiti atau memohon perlindungan terhadap musuh-musuh. Ayam kemudian diserahkan ke ketua adat yang sedang duduk di panggung Koker Bale untuk disembelih.

Dengan demikian, tuber sangat menentukan ritual tuno manuk. Jika makin banyak ayam yang diganti, berarti kelakuan masyarakat di desa itu makin buruk. Kondisi ini dinilai mengganggu keharmonisan hubungan dengan leluhur, alam semesta, dan sesama manusia.

Tari dua malam

Harmonisasi hubungan dengan tiga unsur itu sangat penting. Leluhur dinilai sebagai pelindung dan penjaga, alam semesta memberi hasil dan rezeki, dan sesama manusia sebagai bagian dari pribadi sendiri yang harus dihormati dan dijaga.

Selama penyembelihan ayam berlangsung, hadirin menggelar tarian adat yang disebut ”dolo-dolo” atau ”sole oha” di depan pelataran Koker Bale. Mereka menari melingkar sambil berpegangan tangan sepanjang malam hari. Tarian adat ini digelar dua malam berturut-turut.

Saat itu, mereka berbalas pantun berisikan cinta, hidup berkeluarga, kehidupan sosial, dan lain-lain. Kemudian beberapa kaum pria dewasa melantunkan ”sole oha”, semacam nyanyian kemenangan, pujian, dan penghormatan kepada leluhur. Orang seperti ini harus memiliki napas panjang dan perbendaharaan kata-kata adat yang kuat.

Pada puncak ”sole oha”, peserta berlari mengelilingi lingkaran sambil berpegangan tangan. Kaki-kaki dientakkan di tanah sampai menghasilkan irama bunyi sepadan. Ketepatan berlari ditentukan pelantun ”sole oha”.

Lewat tarian ini muncul sejumlah lagu daerah dalam kehidupan sehari-hari atau lagu gereja. Misalnya, tarian ”dolo-dolo” dan lagu ”dolo-dolo” sudah mulai masuk dalam muatan lokal sekolah dasar atau misa ”dolo-dolo”.

Menjelang pagi, tarian itu bubar. Hadirin melanjutkan tarian tradisional lain yang diperankan kaum pria, yakni ”mesa” atau pencak silat dan ”uwa” atau ketangkasan memukul betis kaki dengan sepotong kayu rotan yang penjangnya sekitar 1,5 meter. Dua jenis tarian ini hanya diperankan kaum pria.

Ketika matahari persis di balik atap Koker Bale, kaum pria diwajibkan pergi mengambil bambu, kayu bakar, kelapa muda, dan daun pisang. Bahan-bahan ini untuk memasak daging ayam yang telah disembelih. Lalu masakan dihidangkan untuk perjamuan adat.

Sayang, upacara tahunan yang memiliki nilai hidup ini belum dilirik Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Flores Timur. Selain itu, ritual ini juga belum dikenal turis asing karena promosi terbatas. Jadwal pelaksanaan tidak diketahui umum dan akses menuju desa itu hanya dengan berjalan kaki.

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Post a Comment

Dunia Dalam Berita


Top